Senin, 28 Juli 2014

Mengintip Idul Fitri di Desa Pinggirpapas




bumigaram,sumenep -Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya” begitulah kata pepatah yang berarti beda tempat beda adat istiadatnya. Seperti umat islam pada umumnya usai puasa ramadhan berakhir warga Desa Pinggirpapas juga larut dalam perayaan hari kemenangan yaitu Hari Raya Idul Fitri atau warga setempat menyebutnya “Tellasan”.
Sebelumnya dalam menjalankan ibadah puasa di desa ini ada keyakinan kuat yang tetap dipertahankan oleh beberapa warga dalam menentukan  awal ramadhan. Setiap tahun di desa ini biasanya ada tiga atau dua hari yang berbeda dalam menentukan awal puasa. Puasa pertama yang memulai lebih awal disebut sebagai golongan “Poasaan se toa”( Puasanya orang tua). Golongan ini punya patokan sendiri dalam menentukan awal Ramadhan. Selanjutnya golongan yang kedua melaksanakan puasa keesokan harinya. Puasa golongan ini disebut sebagai “Poasaan se Ngodha”(puasanya orang muda). Dan yang terakhir adalah golongan yang tetap patuh pada ketentuan yang ditetapkan oleh Departemen Agama. Puasa golongan yang terakhir ini disebut “Poasaan Pangulo” (Puasanya Penghulu) atau “Poasaan pamarentah” (Puasanya Pemerintah). Terkadang awal puasa golongan yang kedua bersaman dengan puasa yang mengikuti keputusan Departemen Agama, karena golongan “Poasaan se ngodha” pasti melaksanakan puasa satu hari setelah “Poasaan se toa”.
Begitupun dalam menentukan akhir ramadhan biasanya golongan yang ikut “Poasaan se toa” akan mengakhiri puasa lebih awal dari ketentuan yang ditetapkan Departemen Agama. Akan tetapi dalam hal melaksanakan sholat Idul fitri mereka tetap mengikuti sholat pada hari yang ditentukan pemerintah. Tradisi menyambut Lebaran di desa Pinggirpapas diawali pada dini hari yaitu “Nyekar” (ziarah kubur) ke makam leluhur dan ke makam anggota keluarga lainnya. Selain mendo’akan ahli kubur mereka juga membawa kembang dan juga air yang dicampur bedak tradisional untuk disiramkan atau dipercikkan ke batu nisan.
Usai melaksanakan Sholat Idul Fitri di Mesjid dan Mushalla dimulailah tradisi sungkeman atau yang disebut sebagai “ Bhattean”. Warga yang lebih muda akan mendatangi kerabat yang lebih tua untuk “Abhatte”. Tradisi “bhattean” ini di dominasi mereka yang berusia antara 5 hingga 40 tahun. Sementara yang berusia diatas itu biasanya berdiam diri di rumah untuk menyambut kerabatnya yang lebih muda. Kemeriahan suasana “bhattean” akan terlihat pada sore hingga malam hari. Berbeda dengan di tempat lain tradisi “bhattean” di desa ini hanya berlangsung satu hari. Namun bagi yang mempunyai kerabat diluar daerah mereka tetap membuka pintu hingga beberapa hari. Idul Fitri tahun 2014 ini bertepatan dengan musim kemarau, praktis suasana tak begitu ramai. Maklum hampir separuh atau bahkan lebih penduduk di desa ini jika musim kemarau mereka bekerja diluar desanya dan di wilayah Jawa Timur seperti Surabaya, Gresik, Sidoarja dan lain-lain. Mereka rata-rata bekerja sebagai pengggarap lahan garam dan baru pulang ketika kemarau sudah berakhir. (Aby)

Romeltea Media
Bumi Garam Updated at:
Get Free Updates:
*Please click on the confirmation link sent in your Spam folder of Email*

Be the first to reply!

Posting Komentar

 
back to top